Perundungan Intelektual: Ketika Otak Mengalahkan Hati

 Ada kalanya kecerdasan bukan lagi anugerah, melainkan alat untuk merendahkan. Pernahkah kalian melihatnya terjadi?
Fenomena ini disebut intellectual bullying atau perundungan intelektual.


Intellectual bullying adalah perilaku ketika seseorang merendahkan orang lain dengan menggunakan kecerdasan, pengetahuan, atau kemampuan berpikirnya untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih unggul. Dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, tempat kerja, atau organisasi, “intellectual bully” sering muncul sebagai orang yang merasa harus selalu terlihat paling tahu. Mereka suka menyela, mengejek pertanyaan yang dianggap “bodoh”, atau membuat orang lain merasa malu hanya karena tidak tahu sesuatu.

Korban biasanya merasa minder karena ide atau pertanyaan mereka dibalas dengan nada meremehkan atau sindiran intelektual. Akibatnya, rasa percaya diri mereka bisa menurun dan sulit pulih dalam waktu singkat.



Sebenarnya, pelaku juga terjebak dalam pola pikir bahwa “kalau saya pintar, berarti saya berharga”. Padahal, nilai seseorang jauh lebih luas daripada sekadar kecerdasan atau pengetahuan.

Karena itu, penting bagi kita baik sebagai korban, saksi, atau bahkan pelaku tanpa sadar untuk:

menyadari bahwa merendahkan kecerdasan orang lain bukan bentuk keunggulan yang sehat,

berani bersikap tegas tapi tetap sopan ketika menghadapi situasi seperti ini, misalnya dengan berkata, “Saya nggak nyaman dengan nada seperti itu”,

dan bagi pelaku, belajar untuk introspeksi bahwa rasa superioritas mungkin muncul karena keraguan atau ketidakamanan diri sendiri. Hubungan yang baik dibangun dari rasa saling menghargai, bukan dari membuat orang lain merasa lebih rendah.

Berikut saya ingin berbagi kisah pilu buah hasil dari fenomena intellectual bullying


Isabella “Izzy” Tichenor adalah seorang siswi berusia 10 tahun dari Utah, Amerika Serikat. Ia adalah anak autistik dan berkulit hitam — dua hal yang sering membuatnya diperlakukan berbeda oleh teman-temannya di sekolah.
Izzy dikenal sebagai anak yang lembut, penuh rasa ingin tahu, dan selalu berusaha beradaptasi di lingkungan sekolahnya. Namun, perbedaan cara berpikir dan berkomunikasinya justru dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya.

Menurut laporan dari ABC News, Izzy sering menjadi korban perundungan intelektual, bentuk bullying yang menggunakan kemampuan berpikir atau kecerdasan sebagai dasar untuk merendahkan seseorang. Teman-temannya kerap mengejek cara Izzy berbicara, menertawakan caranya memahami pelajaran, dan menganggapnya “lambat” karena ia membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses sesuatu — hal yang umum pada anak dengan autisme.
Di luar itu, Izzy juga diejek karena warna kulit dan tanda lahir di kepalanya, membuatnya merasa semakin terisolasi.

Setiap hari di sekolah terasa berat bagi Izzy. Ia mulai merasa bahwa dirinya tidak cukup pintar, tidak cukup diterima, dan bahwa kehadirannya selalu salah.
Beberapa hari sebelum kematiannya, Izzy sempat mengatakan bahwa ia tidak ingin kembali ke sekolah karena tidak tahan lagi menghadapi ejekan dan tatapan merendahkan dari orang-orang di sekitarnya.

Pada 6 November 2021, Izzy ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Kepergian gadis kecil itu mengguncang publik dan menyoroti betapa berbahayanya bentuk perundungan yang tidak selalu terlihat fisik seperti intellectual bullying, yang dapat perlahan menghancurkan harga diri seseorang.
Bagi Izzy, ejekan terhadap caranya berpikir bukan sekadar candaan; itu adalah bentuk penolakan terhadap keberadaannya sebagai manusia yang berbeda.

Tragedi Izzy menjadi pengingat bahwa tidak ada ukuran tunggal untuk kecerdasan, dan bahwa mengejek seseorang karena berpikir dengan cara yang berbeda adalah bentuk kekerasan yang nyata. Izzy mungkin telah tiada, tetapi kisahnya membuka mata dunia bahwa perundungan intelektual dapat berujung pada kehilangan yang tak tergantikan.


Kasus Isabella “Izzy” Tichenor adalah potret menyedihkan dari bagaimana kecerdasan dan perbedaan cara berpikir bisa menjadi dasar diskriminasi. Izzy tidak dibully karena berbuat salah, tetapi karena ia berpikir dan berkomunikasi dengan cara yang berbeda akibat autisme yang dimilikinya. Inilah bentuk nyata dari intellectual bullying, ketika seseorang dianggap “kurang layak” hanya karena tidak memenuhi standar intelektual yang dibuat oleh lingkungan sosialnya.

tragedi Izzy menunjukkan bahwa perundungan tidak selalu datang dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga dalam bentuk kata-kata yang merendahkan dan tatapan yang menilai. Bullying jenis ini lebih berbahaya karena perlahan menghancurkan harga diri dan makna diri seseorang. Izzy adalah korban dari sistem yang gagal memahami bahwa kecerdasan manusia bersifat beragam dan bahwa empati dan moralitas jauh lebih penting daripada sekadar “menjadi pintar”.

Kasus ini seharusnya menjadi peringatan bagi dunia pendidikan untuk tidak hanya menilai anak dari kemampuan akademisnya, tetapi juga untuk membangun lingkungan yang menerima segala bentuk perbedaan. Jika sekolah gagal menumbuhkan rasa hormat dan empati, maka kecerdasan yang diajarkan hanyalah setengah dari kemanusiaan itu sendiri.

Perundungan intelektual tidak selalu terlihat jelas; kadang ia hadir dalam kalimat meremehkan, tawa kecil yang sinis, atau nada bicara yang membuat orang lain merasa bodoh. Namun dampaknya bisa sangat dalam seperti luka yang perlahan membunuh rasa percaya diri seseorang.

Kita tidak perlu menjadi paling pintar untuk dihargai, dan tidak perlu merendahkan orang lain agar terlihat cerdas. Yang kita butuhkan hanyalah kesadaran bahwa menghormati perbedaan cara berpikir adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan itu sendiri.

Sekian saja tulisan saya pada kali. Kepada siapapun yang sudah membaca saya ucapkan terima kasih yang terdalam🙏🙏

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Chapter 1: perkenalan diri

Penjelasan Fenomena Sosial: Karbit